Call for Book Chapter “The Future of Arts”
Gambaran Umum
Sejak tahun 2014, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR), Sekolah Pascasarjana, UGM memproduksi buku di bawah naungan penerbit Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, UGM. Sudah empat buku (yakni: Arts and Beyond; Daya Seni; Kritik Seni Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan; dan Play and Display: Dua Moda Pergelaran Reyog Ponorogo di Jawa Timur) dan 14 terbitan Jurnal kami produksi (lihat Jurnal Kajian Seni). Hal tersebut kami lakukan untuk mendiseminasikan keilmuan seni pertunjukan dan seni rupa ke khalayak. Buku kumpulan tulisan yang terakhir kami buat adalah Daya Seni (2016). Buku tersebut berisi kumpulan tulisan para dosen dan pembicara pada seminar The Power of Arts yang bersamaan diterbitkan dalam rangka Dies Natalis ke 25 tahun.
Sementara itu, pada tahun 2021 ini PSPSR kembali berinisiatif untuk membuat buku kumpulan tulisan para dosen, mahasiswa, dan alumni yang diterbitkan dalam rangka Dies Natalis yang ke-30. Pada kesempatan ini, tema besar dari buku tersebut adalah The Future of Arts. Tema ini menjadi agenda utama PSPSR mengingat konstelasi seni setahun ke belakang berubah cukup signifikan. Di mana Covid-19 menghentikan pelbagai aktivitas kesenian, baik seni pertunjukan dan seni rupa. Hal ini juga menjadi keputusan Pemerintah Republik Indonesia terkait mengurangi kerumunan untuk menekan laju persebaran virus.
Hal yang menarik, alih-alih berhenti, pelbagai inisiatif dan inovasi dilakukan oleh para seniman untuk berekspresi. Para seniman mulai mengaktivasi teknologi dan mempercayakan virtual sebagai cara pendiseminasian karya. Para paruh pertama tahun 2020, aktivasi media daring, YouTube banyak dilakukan. Secara berselingan, pertunjukan karya tari di YouTube; pameran virtual di website; ataupun diskusi daring mengenai seni, mulai dari ulas karya seni, membicarakan strategi menghadapi pandemi para seniman, ataupun saling bertukar sapa dan penderitaan, telah dilakukan. Tidak hanya dilakukan oleh seniman, upaya serupa turut diinisiasi oleh Pemerintah, salah satunya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan YouTube-nya @budayasaya[1]. Singkat kata, upaya konversi medium untuk menampilkan karya pada era pandemi terjadi cukup masif.
Kendati demikian, migrasi medium memiliki konsekuensi logis, mulai dari liveness, intimacy, relasi, estetika, komunikasi, manajemen, hingga makna seni itu sendiri. Tidak hanya itu, banyak kalangan seni yang mempertanyakan keberadaan seni di ruang daring dan menyayangkan upaya konversi yang dianggap gegabah. Hal yang tidak kalah menarik, beberapa seniman justru menawarkan pertunjukan atau pameran dengan cara yang berbeda, semisal Teater Garasi dengan pertunjukan UrFear Huhu and The Multitute of Peer Gynts yang dihelat sebulan penuh; Indonesia Netaudio Forum (INF) dengan In-Game Club; Pameran seni Art Basel Hong Kong 2020 dengan tajuk Nikkei Asia yang mendatangkan pengunjung online sebesar 250.000 dalam waktu satu minggu[2]; ataupun New York Art Central, yang meraih 105.000 jumlah tatap[3]; dan lain sebagainya. Dari beberapa tindak tanduk yang dilakukan para seniman dan penyelenggara tersebut, mereka menawarkan bentuk yang berbeda satu sama lain. Namun mereka memiliki satu kesamaan, mereka tahu jika pertunjukan virtual bukan hanya migrasi dari pertunjukan fisik lazimnya, melainkan terdapat pendekatan, perlakuan, dan terobosan yang berbeda. Semisal INF dengan mengaktivasi interaksi penonton dengan format game, sehingga intimacy yang sebelumnya dipertanyakan justru muncul; ataupun Teater Garasi yang memberikan perlakuan khusus dan berbeda pada setiap nomor pertunjukannya. Bertolok dari kesadaran ini, buku kumpulan tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemetaan, penyelisikan, dan analisis atas dua hal, yakni apa yang sudah terjadi (masa lalu dan kini) dan apa yang harus disiapkan (masa depan).
Pendalaman Tema
“The Future of Arts” sebagai tema dies PSPSR tahun ini menggarisbawahi masa depan seni, baik dari sisi bentuk maupun posisinya, dalam konteks masyarakat kontemporer. Masa depan itu tak hanya penerusan masa kini atau proyeksi dari masa kini, melainkan terselip harapan atau kondisi yang diimajinasikan dan belum menemukan bentuknya. Selain itu, seni sesungguhnya ikut berkontribusi dalam mengukir masa depan karena seni merupakan bagian dari praktik sosial, terutama perannya dalam menciptakan dunia simbolik. Seni, kita tahu, mengusung nilai-nilai estetika yang tak hanya mengilhami, tapi juga menjadikan penghayatan hidup yang lebih intens.
Persoalan masa depan seni itu kian bertambah pelik ketika pandemi COVID-19 melanda lebih dari setahun silam dan tak kunjung usai hingga kini. Kendatipun praktik berkesenian terus berlangsung di tengah pembatasan sosial dan fisik, tak urung pandemi telah mengubah presentasi seni yang difasilitasi oleh teknologi Internet (digital). Masa pandemi telah menjadi momen kontemplatif sekaligus kreatif bagi para pelaku seni. Akibatnya, lahir moda baru penciptaan, presentasi, pewacanaan, mediasi dan sirkulasi karya seni yang mengatasi batas-batas geografis. Selain itu, masa pandemi semakin menegaskan peran teknologi yang ikut membentuk moda representasi dan presentasi karya seni serta pada gilirannya turut mentransformasi medan seni.
Meski demikian, ada sejumlah pertanyaan kritis yang bisa diajukan berkaitan dengan praktik seni di masa pandemi, antara lain:
- Apakah interaktivitas (interactivity) yang mencuat dari praktik seni di masa pandemi ini memiliki muatan relasional-nya atau lebih karena imperatif teknologis semata?
- Apakah elemen ‘bermain’ (playfulness) yang bisa ditemukan dalam ekspresi seni media baru yang berbasiskan teknologi masih mengusung semangat emansipasi (emancipation)?
- Masih relevankah berbicara tentang otonomi seni (art autonomy) di masa depan ketika teknologi yang berkelindan dengan ideologi neoliberal telah ikut mewarnai praktik berkesenian saat ini?
- Apakah mediasi terhadap liveness bisa dianggap sebagai ikhtiar mendorong pada partisipasi di kalangan penikmat seni?
Jawaban atas deretan pertanyaan tersebut, tak urung, akan membawa kita pada perbincangan ihwal relasi seni dengan masyarakat tempat seni beroperasi. Di samping itu, juga membawa pada perbincangan pada peran teknologi yang kian krusial dalam membentuk praktik seni. Tentu, teknologi mesti dipahami tidak bersifat determistik terhadap seni, namun lebih sebagai faktor yang memungkinkan bagi produksi, distribusi dan eksibisi seni.
Tema besar “The Future of Arts”, bisa dielaborasi dari tema ‘The Future of Arts” ke sejumlah topik, antara lain:
- New Development of Digital/ NetArts: menilik kembali sejauh mana perkembangan seni digital di Indonesia sejak seniman rupa menggunakan Internet yang menghasilkan ‘netarts’ atau ‘digital arts’ dan kemungkinan lahirnya estetika baru yang bersumber dari teknologi digital.
- Technological-Based Art Practices: mengulas bagaimana praktik seni kian berkelindan dengan teknologi yang mengubah cara produksi, presentasi, sirkulasi, eksebisi dan proses konsumsi.
- Mediating Liveness in the Age of Screen Culture: membahas tantangan seni pertunjukan (tari dan teater) ketika bermigrasi dari panggung proscenium ke layar gawai dengan segala bentuk artikulasi/ pengungkapan
- Social Media and Participatory Arts: menilik media sosial lebih dari sekadar membangun jejaring pertemanan, tapi melahirkan sosialitas baru di mana para pelaku seni juga menggunakannya untuk membangun komunikasi dan keterlibatan penikmat seni.
- Information, Big Data and Arts: mendiskusikan peran informasi dan data raksasa (big data) dan interseksinya dengan seni, terutama penciptaan seni yang berbasiskan pada informasi dan data seperti dalam ‘seni arsip’ (archival art).
- Archiving Arts and Arts of Archiving: mendiskusikan tidak hanya proses pengarsipan karya seni tapi juga seni pengarsipan itu sendiri, terutama berkaitan dengan karya seni media baru yang berbasis digital.
- Relational Arts and Digital Interactivity: membahas seni yang dianggap mendorong bagi proses interaksi sosial dan ikut membentuk lingkungan sosial ketika berhadapan dengan teknologi internet/ digital yang memfasilitasi interaktivitas secara massif dan tak jarang intens.
- Curating Arts in the Age of Proliferation of Images: mendiskusikan tantangan mengurasi seni ketika kian mudahnya produksi image (image making) yang difasilitasi teknologi digital. Kini tak hanya terjadi ‘demokratisasi kiritik seni’, tapi juga pada kurasi seni.
Demikianlah, sejumlah topik yang bisa dielaborasi dari tema “Future of Arts” yang menjadi tema Dies ke-30, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Topik tersebut dimaksudkan sebagai tema-tema yang dapat digunakan pada buku terbitan baru dalam rangka Dies ke-30 PSPSR.
Penulis
Penulis di dalam buku kumpulan tulisan ini adalah dosen, mahasiswa, dan alumni Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, UGM, baik di strata dua ataupun tiga.
Tata Cara Kepenulisan
- Tulisan merupakan hasil penelitian, kajian, gagasan konseptual, aplikasi teori, ide, dengan seni sebagai objek material.
- Ditulis dalam bahasa Indonesia dengan jumlah kata 4000-8000 kata.
- Diketik dengan tipe huruf Bookman old Style ukuran 11, justify, spasi 1,5 pada kertas ukuran kuarto (A4).
- Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai catatan perut (bodynote), sedangkan keterangan yang dirasa penting dan informatif yang tidak dapat disederhanakan maka ditulis sebagai catatan kaki (footnote).
- Teknik penulisan catatan perut mengikuti APA 7th , di mana ditulis demikian (Schechner, 2001: 48).
- Daftar Pustaka ditulis secara alfabetis dan mengacu pada APA 7th .
- Tulisan dapat dikirimkan melalui alamat surel pspsr.pasca@mail.ugm.ac.id dengan Judul “Tulisan untuk Buku Bunga Rampai”.
Lini Waktu (2022)
Penerimaan naskah: 1 Januari – 31 Juli
Pemberitahuan penerimaan: 5 Agustus
Revisi: 6 Agustus – 20 Agustus
Layout dan Publikasi: 21 Agustus – 21 Oktober
Penutup
Kerangka Acuan Kerja ini disusun sebagai pondasi dasar dalam Seri Diskusi The Future of Arts.
[1] Raditya, Michael. 2020. “Ketika Seniman Beradaptasi”, dalam Indonesiana Vol 9 Edisi Dari Banda untuk Dunia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hal 44.
[2] https://www.kompas.com/hype/read/2021/03/10/155300066/pameran-virtual-bentuk-eksplorasi-sekaligus-adaptasi-dunia-seni-terhadap diakses 11 Maret 2021.
[3] https://www.kompas.com/hype/read/2021/03/10/155300066/pameran-virtual-bentuk-eksplorasi-sekaligus-adaptasi-dunia-seni-terhadap diakses 11 Maret 2021.