Seminar

Seni dan Diplomasi Budaya

Pendalaman Tema

            Misi kebudayaan di tanah air Indonesia sudah diberlakukan pasca kemerderkaan Indonesia di tahun 1945. Bagi Sukarno, melalui kebudayaanlah, Indonesia dapat menunjukkan kemerdekaan, sekaligus keragaman kebudayaannya. Atas dasar itu, misi kebudayaan telah dilakukan Sukarno dengan mengirimkan pelbagai seniman ke luar negeri. Singkat kata, misi kebudayaan menyimpan agenda politik luar negeri dari Sukarno. Pun seorang Indonesianis, Jennifer Lindsay turut menuliskan bahwa: Banyak misi-misi kebudayaan yang dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno pada tahun 1950an dan 1960an. Misi yang biasanya beranggotakan penari dan musisi ini bertujuan sebagai ekspresi “kepercayaan diri dan kebanggaan bangsa” (Lindsay, 2012: 195)[1]. Seraya mengamini hal tersebut, di dalam tulisannya Barbara Hatley menyatakan bahwa di era tersebut memang mempunyai agenda menciptakan kebudayaan nasional yang maju untuk bangsa Indonesia (2014:4)[2].
              Namun di luar misi kebudayaan, kebudayaan kita pun sudah pernah melawat pelbagai negara ketika era kolonial. Semisal pergelaran gamelan pada l’Exposition Universelle (Pameran Semesta) yang digelar di Paris pada 1889 untuk memperingati 100 tahun Revolusi Perancis. Di situlah dipentaskan gamelan Sunda Sari Oneng dari desa Parakan Salak, dekat Sukabumi, antara lain untuk juga mengiringi empat gadis penari kraton Mangkunegaran, Solo (Perlman,1994:512; Sorrell, 1992:66; Wachsmann, 1973:7; Wibsiono, 2012:12)[3]. Alhasil, pelbagai interaksi pertukaran juga telah terjadi menjadi satu pola yang terus dilakukan, tetapi berbeda agenda atau tujuan.
             Belakangan ini, misi kebudayaan serupa masih kerap dilakukan, baik tertaut dengan pemerintah ataupun swasta. Pun dalam bentuk kesenian turut mengalami perubahan, dari kesenian tradisi menjadi kesenian tradisi hingga kontemporer. Alih-alih hanya misi kebudayaan yang bersifat pengiriman, pelbagai kegiatan interaksi lain juga turut terjadi, baik berupa festival, hingga residensi. Dari hal ini, kita dapat melihat pelbagai bentuk interaksi kebudayaan yang berkembang tetapi tetap mempunyai tujuan mendesiminasikan Indonesia, atau mendiplomasikan budaya Indonesia melalui kesenian. Namun, kita perlu telisik lebih lanjut beberapa hal, seperti: Bagaimana konstruksi diplomasi dalam negeri dan luar negeri yang dirancang? Bagaimana konstruksi diplomasi budaya dibaca oleh para akademisi dan seniman? Seberapa jauh kesenian mempunyai suara untuk menentukan agenda diplomasi budaya? Bagaimana diplomasi budaya mempunyai daya tawar untuk kesenian? Hal ini kiranya penting dilakukan guna merancang pemahaman akan diplomasi budaya apa yang ingin dicanangkan ke depan, dengan melihat masa lalu dan masa kini. Jika hal tersebut dilakukan dengan daya kritis, kiranya diplomasi budaya yang diterapkan di dalam ataupun luar negeri dapat berlaku sinergis, sehingga kesenian dapat mengamil peran penting dalam rancangan strategi kebudayaan ke depan.

Oleh karena itu, kami menghadirkan pembicara:
Keynote Speaker:
Hilmar Farid

Speaker Sesi Pertama:
1. Jennifer Lindsay
2. Nyak Ina Raseuki
3. Tulus Warsito
Moderator: G.R. Lono Lastoro Simatupang

Speaker Sesi Kedua:
1. Mella Jaarsma
2. Eko Supriyanto
3. Dwiki Dharmawan
Moderator: Rr. Paramitha Dyah F.

----

[1] Lindsay, J. 2012. “Performing Indonesian Abroad”, dalam J. Lindsay dan M. Liem (eds), Heirs to World Culture; Being Indonesian 1950-1965. Leiden: KITLV.

[2] Hatley, Barbara. 2014. Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

[3] Wibisono, Joss. 2012. Saling Silang Indonesia-Eropa. Jakarta: Marjin Kiri.

Slider component not found

Diskusi Buku Play and Display

Pendalaman Tema

Play and Display: Dua Moda Pergelaran Reyog Ponorogo di Jawa Timur merupakan telaah atas pergelaran tari rakyat Jawa, yakni Reyog Ponorogo. Premis dasar telaah ini adalah pandangan bahwa makna Reyog Ponorogo niscaya berkelin- dan di dalam peristiwa pergelarannya, dan secara kolaboratif makna itu dibangun serta dibangun-ulang oleh partisipan ke- tika peristiwa terjalin serta pengerjaan pergelaran tersebut. Pandangan ini lantas membawa saya untuk memeriksa unsur- unsur formal, yakni: bagaimana unsur-unsur itu disusun-rang- kaikan menjadi pergelaran di pelbagai latar ruang-waktu dan kesempatan?; bagaimana para partisipan berinteraksi dalam latar pegelaran yang berbeda-beda? Melalui penelusuran itu, lantas kajian ini mengafirmasi dua moda pergelaran Reyog Ponorogo, yaitu: modus presentasional dan modus partisipa- toris. Buku ini mengungkapkan bahwa kedua moda pergelar- an merupakan peristiwa publik dengan pembingkaian temporal, spasial, ideasional agar orang Ponorogo—selaku pelaku mau- pun penonton—mengalami (secara visual, aural, fisikal dan mental) sejumlah aspek penting dari keberadaan mereka sebagai pribadi, warga masyarakat Ponorogo, serta warga bangsa. Kekuatan pergelaran Reyog Ponorogo terletak pada fakta bahwa pergelaran itu merupakan momen bagi orang Ponorogo untuk mengalami dan mengungkapkan ihwal-ihwal pokok tersebut dengan cara yang menghibur, yakni: play dan display.

Bertolok dari telaah buku tersebut, kami mengadakan peluncuran buku dengan mengundang:
1. Garin Nugroho (Penanggap Buku)
2. G.R. Lono Lastoro Simatupang (Penulis Buku)
Moderator: Michael HB Raditya

Slider component not found

Seni dan Multi Medialitas

Pendalaman Tema

Seni menunjukkan kompleksitas realitas dengan cara menampilkan peluang penembus batas-batas ‘kelaziman.’ Seni merupakan kerja kreatif di mana yang ‘tidak mungkin’ menjadi ‘mungkin,’ yang ‘tersembunyi’ menjadi ‘tampak,’ yang ‘buruk’ menjadi ‘baik,’ yang ‘tidak boleh’ menjadi ‘boleh,’ dan seterusnya. Namun seni tidak pernah sekedar mengikuti tafsir atau nalar umum atas realita, melainkan menciptakan tafsiran alternatif atas realita.

Di dalam seni, perihal kreativitas menjadi hal yang utama dan tidak dapat terabaikan. Kendati demikian, seni tidak melulu tentang ide, melainkan senantiasa membutuhkan wujud—baik visual, aural, ataupun keduanya—agar dapat hadir dan teralami oleh manusia. Dalam hal ini, ide dan wujud merupakan dua dimensi yang tidak pernah terpisahkan dalam seni, pun tidak selalu keduanya selaras.

Pada beberapa dekade belakangan, perwujudan seni tidak melulu pada satu medium, melainkan bentuk-bentuk lainnya yang cenderung bersifat multi-media. Namun dalam hal ini, media dapat ditafsirkan sebagai substansi yang menghubungkan dua atau lebih pihak (Meyer, 2008; Damono, 2012). Fungsi media adalah untuk memediasi, menjadi perantara, jembatan bagi interaksi kedua belah pihak. Fungsi mediasi itulah yang dijalankan oleh bermacam-macam substansi (huruf, gambar, kata, gerak, warna, dan sebagainya).

Terjadinya penggunaan lebih dari satu substansi media, atau pengalihan dari satu media ke media yang lain, mengisyaratkan bahwa masing-masing substansi sebenarnya memiliki kemampuan serta keterbatasan dalam menjalankan peran mediasi. Alhasil, ketika seni menggunakan lebih dari satu media ungkap, atau ketika ia berpindah dari satu media ungkap ke media ungkap lain, di sana hadir ruang kreativitas seni berikutnya. Begitupun seterusnya.

Dalam hal ini multi medialitas bukan menyoal perkara bentuk yang berubah, melainkan memahami satu cara kerja kreativitas yang berasal dari kreativitas sebelumnya, baik sifatnya tafsir ulang, penambahan, ataupun pengurangan. Multi medialitas menjadi perihal yang ‘beresiko’, pasalnya kerja kreativitas ini cukup mempunyai beban atas kreativitas sebelumnya, namun di sisi lain memunculkan satu pesona karena memproduksi ruang tafsir baru yang disesuaikan dengan kontekstual.

Secara lebih lanjut, kreativitas dan tasfir ini akan memberikan ruang pemahaman atau pemaknaan atas karya seni yang dapat bertambah, stabil, ataupun berkurang. Dengan praktik multi medialitas, pemaknaan seni terus berkembang sesuai dengan jiwa zaman. Bertolak dari tarik ulur tersebut, kami mempercayai bahwa pembahasan medium seni terus berkembang, bahkan kami mencatat beberapa hal yang cukup penting dalam multi medialitas, yakni: perubahan medium, kreativitas, pemaknaan, serta kontekstual.

Atas dasar ini lah kami ingin membahas secara lebih mendalam atas seni dan multi medialitas. Bagi kami membicarakan medium dalam seni merupakan pembahasan yang menarik, terlebih pada contoh-contoh karya yang mengacu pada praktik seni berbasis multi medialitas.

Dalam mengejawantahkan logika tersebut, kami mengundang pembicara, sebagai berikut:

Seminar Sesi Pertama
1. Sapardi Djoko Damono
2. Sardono W. Kusumo
3. Setiawan Sabana
Moderator: G.R. Lono Lastoro Simatupang

Seminar Sesi Kedua
1. Jompet Kuswidananto
2. Titarubi
3. Gea OF Parikesit
Moderator: Kusen Alipahadi

Slider component not found

Peluncuran Buku Kritik Seni Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan

Pendalaman Tema
             Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pasca Sarjana Lintas Disiplin, UGM menyambut gembira penerbitan Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan Edisi Baru ini. Buku yang ditulis Pak Sal Murgiyanto—praktisi seni pertunjukan sekaligus akademisi yang telah malang-melintang di kancah seni pertunjukan dan pendidikan—ini memuat sejumlah kritik seni pertunjukan, utamanya seni tari. Di dalamnya terbaca kepiawaian pak Sal mengendapkan kecamuk pengalaman batin tatkala mengalami sebuah seni pertunjukan—baik sebagai pemirsa maupun pelaku, menautkannya dengan timbunan pengalaman seni pertunjukan yang lain, menatanya kembali sebagai runutan pikiran, mendialogkannya pada wacana akademis, serta menuangkannya ke dalam tulisan yang bernas. Berkat proses pembahasaan yang melibatkan aktivitas fisik dan mental yang ketat semacam itu rasa yang berkecamuk dalam peristiwa pertunjukan tidak lagi terbungkus rapat sebagai pengalaman pribadi, tidak pula menguap dalam obrolan seusai pementasan. Melalui tulisan kritik ini proses olah pikir dan rasa memperoleh bentuknya yang baru berupa tulisan reflektif yang siap menjumpai pembacanya.
             Buku ini bukan hanya bermanfaat bagi para akademisi seni pertunjukan, tetapi juga baik direnungkan praktisi seni pertunjukan maupun mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan pertunjukan. Bagi akademisi seni pertunjukan, buku ini menyajikan contoh- contoh penerapan berbagai perspektif penting dalam kajian seni pertunjukan untuk mewacanakan seni pertunjukan. Berbagai jejak wacana performance studies, dance studies, embodiment, estetika, serta fenomenologi eksistensial dengan mudah dapat dikenali di sana-sini. Meskipun demikian, buku ini bukan merupakan kontemplasi teoretik untuk mengkritisi wacana akademik di bidang kajian seni pertunjukan. Buku ini bukanlah kritik teori seni pertunjukan, melainkan kritik seni pertunjukan. Alih-alih menyajikan olah nalar di aras abstrak, buku ini bertumpu pada deskripsi cermat dan cerdas atas sejumlah persitiwa pertunjukan. Sebagian tulisan Pak Sal dalam buku ini dapat dikatakan berciri etnografi kritis (critical ethnography). Muatan etnografis ini kami pandang bermanfaat bagi praktisi seni pertunjukan maupun penyelenggara peristiwa pertunjukan yang kurang berminat pada dimensi konseptual/teoretik. Di sini kecermatan deskripsi peristiwa pertunjukan sangat didukung oleh keakraban Pak Sal pada dunia seni pertunjukan. Deskripsi-deskripsi pementasan tersebut dapat ditempatkan sebagai “sparring partner” bagi praktisi dan penyelenggara seni pertunjukan. Melaluinya praktisi maupun penyelenggara seni pertunjukan dapat menimba beberapa pertimbangan estetis, layaknya peran dramaturg dalam seni pertunjukan.
             Memang, sejatinya peran kritik adalah untuk mempertemukan wacana akademis dengan jagad praktik, baik untuk tujuan pengembangan pengetahuan maupun untuk penciptaan praktik- praktik baru. Buku ini berhasil menunjukkan hal tersebut. Dalam arahan kritik seni seperti itu, kami memandang buku ini terlalu berharga untuk tidak diterbitkan ulang. Semoga penerbitan Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan Edisi Baru ini bermanfaat bagi upaya memperkokoh program-program studi seni pertunjukan di Indonesia.

Buku ini dibahas oleh:
1. G.R. Lono Lastoro Simatupang
2. Kris Budiman
3. Sal Murgiyanto (Penanggap)
Moderator: Dede Pramayoza

Seminar The Power of Art

Pendalaman Tema

Bertepatan dengan tahun pesta perak Prodi PSPSR UGM ini panitia merangkai sejumlah kegiatan dengan tema payung “Daya Seni (The Power of Arts).” Rangkaian kegiatan akan dilangsungkan sejak bulan Mei hingga Desember 2016, berupa orasi ilmiah, resepsi, diskusi, seminar, hingga pameran dan festival. Disadari atau tidak, tersembunyi atau ternyatakan, diakui atau diingkari, seni hadir mewarnai hampir di segala bidang kehidupan manusia; dulu, kini, maupun di masa mendatang, dan di sudut dunia mana pun. Kehadiran seni di banyak segi kehidupan menunjukkan bahwa seni memiliki peran tak tergantikan dalam kehidupan manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Menyadari hal tersebut, peringatan 25 Tahun Prodi PSPSR ini mengangkat tema “Daya Seni” atau “The Power of Arts” sebagai tema payung bagi keseluruhan rangkaian kegiatan.

Daya seni dipahami secara luas sebagai kemampuan yang melekat dalam proses kreatif, wujud kreatif, maupun konsumsi kreatif gejala/peristiwa seni. Kemampuan pada setiap masing-masing tahap rantai produksi-produk-konsumsi tersebut tidak terbatas pada daya hibur, daya ekonomis, ataupun daya pikat belaka, melainkan juga daya spiritual, daya penyembuhan, daya pikir, dan daya politis. Melalui gejala/peristiwa seni pengalaman kehidupan harian manusia yang cair dan kabur memperoleh berbagai fokus tematisasi untuk berbagai tujuan. Seni tidak sekedar merepresentasikan sesuatu yang ada di luar dirinya, seni itu sendiri adalah presentasi realitas kehidupan yang tidak/jarang terungkap secara nyata dan kuat dalam kehidupan harian manusia: seni adalah penciptaan realitas.

Atas dasar itu, seminar ini mengundang tiga speaker, sebagai berikut:
1. Prof. Bambang Sugiharto
2. Dr. Paul Rae
3. Prof. Dr. Friedrich von Borries

Moderator: Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A.

Arts and Beyond Conference

Pendalaman Tema

Praktik seni di Indonesia berkembang masif dan pesat belakangan ini. konten kajian seni tidak lagi terbatas pada bidang artistic, namun menjangkau wilayah non seni. Pelbagai aspek dan perspektif non-seni turut menjadi pertimbangan utama dalam praktik berkesenian. Kesadaran akan pelbagai faktor, seperti: ekonoi, agama, teknologi, hukum, gender, pendidikan, politik, kesehatan, dan sebagainya, menjadi stimulasi kontekstual dalam penciptaan sebuah karya (tekstual). Keterbukaan pandangan akan seni yang tidak hanya merujuk pada praktik beralih dari aspek pendukung menjadi perspektif utama.

  Hal ini pun tidak hanya terjadi dan berdampak pada sivitas artistika, namun turut berpengaruh besar pada sivitas akademika. Kecenderungan atau tren perspektif akademis yang mewacanakan seni melalui sudut pandang disiplin ilmu yang beragam, turut menjadi laku dari para akademisi akhir-akhir ini. Dari hal tersebut telah terejewantahkan bahwa gelagat seni, baik pada bidang praktik, maupun kajian, telah mengalami perkembangan yang signifikan dengan mempertimbangkan perspektif non-seni dalam menganalisa dan menciptakan karya seni.

Arts and Beyond” akan membahas secara spesifik perihal:

1.  Korelasi antara multidisiplinalitas dengan seni,

2.  Praktik seni yang tidak membatasi diri pada bidang artistic semata, tetapi juga menjangkau wilayah non-seni,

3.  Kecenderungan / trend perspektif akademis yang mewacanakan seni melalui sudut pandang disiplin ilmu yang beragam,

4.  Keterbukaan pandangan akan seni yang tidak hanya merujuk praktik sebagai perspektif utama,

5.  Gesekan seni dengan perspektif lainnya dalam membahas seni.

Bertolak dari perihal tersebut, maka kami berupaya untuk mendalami lanskap perspektif yang telah menjadi perbincangan dalam pelbagai praktik kesenian dan diskusi akan seni. Arts and Beyond, menjadi tawaran kami dalam mendiskusikan persoalan tekstual dan kontekstual yang terjadi pada bidang praktik maupun kajian.

Pada konferensi ini, dua speaker yang terlibat, sebagai berikut:
1.  Prof. Matthew Isaac Cohen
2.  Dr. Sal Murgiyanto, M.A.
Moderator: Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A.

Seminar Seni Politik - Politik Seni

Topik yang diangkat adalah “Politik Seni dan Seni Politik”. Merupakan pembahasan atas terkaitnya teks dan kontekstual yang menjalin korelasi pada hal seni di dalam politik dan sebaliknya, Fenomena-fenomena yang memuncak mendekati Pemilu Raya menjadi pertanyaan besar atas posisi seni itu sendiri. Seni dalam politik terkadang dijadikan media dan perangkat dalam politik itu sendiri. Melihat sejauh mana posisi seni menjadi sesuatu yang menarik.

Harapannya, atas materi dan informasi yang disampaikan dapat memberikan wawasan kepada semua lini. Baik berupa pembahasan yang umum dan khusus terkait hal ini dan dapat berguna untuk semua kalangan. Menguak relasi dengan keilmuan-keilmuan dalam seni. Seminar ini dapat menjadi bahan refleksi untuk setiap penggiat, pemerhati, dan pencinta seni terhadap fenomena-fenomena seni yang terjadi.

Di dalam seminar ini, kami mengundang:

Seminar Sesi Pertama
1. Djaduk Ferianto
2. Samuel Indratma
Moderator: Kris Budiman

Seminar Sesi Kedua
1. Prof. Rachmi Diyah Larasati
2. Antariksa
Moderator: G.R. Lono Lastoro Simatupang

Slider component not found